Jakarta

Parlemen Jepang mengadopsi undang-undang untuk menaikkan usia consent atau usia legal, termasuk hubungan seksual dari 13 tahun menjadi 16 tahun.

RUU tersebut lolos dari majelis tinggi parlemen dengan suara bulat pada Jumat (17/6/2023). RUU baru juga mengklarifikasi persyaratan penuntutan pemerkosaan dan mengkriminalkan voyeurisme (mengintip).

Di bawah UU baru, pasangan remaja yang berusia di atas 13 tahun masih bebas dari tuntutan hukum jika jarak usia di antara keduanya kurang dari lima tahun.

Jepang terakhir merevisi KUHP tentang pelanggaran seksual pada 2017, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu abad. Tetapi para pegiat mengatakan reformasi itu tidak cukup. Kemudian pada 2019, serangkaian pembebasan dalam kasus pemerkosaan memicu aksi unjuk rasa nasional.

Di bawah undang-undang sebelumnya, jaksa harus membuktikan korban tidak berdaya karena kekerasan dan intimidasi. Kritikus berpendapat bahwa persyaratan itu pada dasarnya menyalahkan para korban karena tidak cukup melawan.

RUU yang disahkan ini berisi daftar contoh di mana penuntutan perkosaan dapat dilakukan. Termasuk di antaranya, korban yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, ketakutan, dan pelaku mengambil keuntungan dari status sosial.

Seorang pejabat Kementerian Kehakiman mengatakan kepada AFP awal tahun ini, bahwa klarifikasi itu tidak dimaksudkan untuk mempermudah vonis perkosaan.

“Tetapi mudah-mudahan akan membuat putusan pengadilan lebih konsisten,” ujarnya dikutip dari The Guardian, Jumat (16/6/2023).

Kementerian Kehakiman juga menyebut RUU tersebut berisi pelanggaran permintaan kunjungan baru. Artinya, orang yang menggunakan intimidasi, rayuan atau uang untuk memaksa anak di bawah 16 tahun bertemu untuk tujuan seksual akan menghadapi hukuman penjara hingga satu tahun atau denda 500.000 yen (Rp 52,9 juta).