Tag: Orang

Pantesan Orang Jepang Nggak Buncit meski Banyak Makan Nasi! Ternyata Ini Triknya

Jakarta

Warga Jepang terkenal akan gaya hidup sehatnya. Mulai dari rutin berjalan kaki, hingga mengkonsumsi makanan sehat. Sama seperti orang Indonesia, mereka juga terbiasa makan nasi putih tiga kali sehari. Tapi kenapa ya tidak banyak orang Jepang berperut buncit?

Faktanya, orang Jepang terbiasa menerapkan gaya hidup sehat sejak kecil, termasuk dalam hal penyajian makanan. Tidak seperti di Indonesia yang biasanya makan nasi menggunakan piring, mereka lebih sering menggunakan mangkuk kecil beserta lauk lainnya.

Orang Jepang biasanya mengkonsumsi nasi dengan beberapa lauk pendamping. Mulai dari miso, ikan atau daging, dan dua atau tiga hidangan sayuran yang dimakan secara bergiliran.

Tips Ampuh Anti Buncit dari Orang Jepang

Meski makan nasi tiga kali dalam sehari, bentuk tubuh orang Jepang tetap bugar dan ‘in shape’. Berikut caranya:

Pola Makan yang Seimbang

Orang Jepang lebih memilih mengkonsumsi ikan daripada daging merah. Mereka sangat menyukai sayuran, makanan asinan dan fermentasi untuk menemani semangkuk kecil nasi.

“Kalau orang Indonesia kebanyakan konsumsi kalori di atas 2 ribu dan kualitas makanannya nggak bagus, kurang sehat kurang serat, terlalu banyak karbohidrat juga,” kata spesialis penyakit dalam dr Indra Wijaya, MKes, SpPD-KEMD, FINASIM, FACP kepada detikcom, Rabu (24/5/2023).

Mengkonsumsi Makanan Fermentasi

Mereka juga sangat suka makanan yang difermentasi, seperti natto dan miso. Biasanya, orang Jepang makan natto untuk sarapan yang ternyata sangat baik untuk usus dan pencernaan.

Kebiasaan ini membuat tingkat obesitas di Jepang menjadi salah satu yang terendah di dunia. Tak hanya itu, harapan hidup orang-orang di sana juga lebih panjang.

Melakukan Aktivitas Fisik

Meski makan nasi tiga kali sehari, orang Jepang selalu mengimbanginya dengan aktivitas fisik yang memadai. Hal ini dilakukan untuk membakar kalori.

Orang-orang di Jepang terkenal sangat gemar berjalan kaki, yang menjadi salah satu aktivitas fisik yang bisa membantu membakar kalori. Sebab, minimnya aktivitas fisik membuat seseorang lebih sulit membuang lemak berlebih, terutama di bagian perut.

NEXT: Kebiasaan Makan Orang Jepang

DARI ORANG DEWASA, IBU HAMIL, HINGGA USIA TUA – Dinas Kesehatan Kota Malang


Post Views: 2,834

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/ tenang (InfoDATIN, Kemenkes RI).

Penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi tekanan darah seseorang, semakin tinggi pula risiko orang tersebut terkena penyakit jantung, gagal ginjal, dan stroke. Awal dari semua penyakit komplikasi itu yaitu kehilangan keseimbangan. Ketika tekanan darah tinggi naik, maka seseorang akan kesulitan berjalan karena tengkuk, leher, dan punggung akan terasa berat dan pegal. Ini disebabkan oleh kadar kolesterol yang langsung menyerang syaraf keseimbangan.

Media KIE Hipertensi dapat diunduh disini

[button color=”red” size=”small” link=”https://dinkes.malangkota.go.id/wp-content/uploads/sites/104/2022/09/HIPERTENSI-1.pdf” ]Poster[/button]
[button color=”red” size=”small” link=”https://dinkes.malangkota.go.id/wp-content/uploads/sites/104/2022/09/HT.pdf” ]Brosur[/button]
[button color=”red” size=”small” link=”https://dinkes.malangkota.go.id/wp-content/uploads/sites/104/2022/09/Salinan-dari-Hijau-dan-Putih-Tanaman-Sains-Brosur-31-x-21-cm.pdf” ]Pre Eklamsia[/button]

Orang Jepang Nggak Gampang Buncit meski Makan Nasi 3 Kali Sehari, Begini Triknya

Jakarta

Orang Jepang ternyata memiliki kebiasaan yang sama dengan orang Indonesia, yaitu makan nasi tiga kali sehari. Tapi, tidak banyak orang di sana yang buncit meski banyak makan nasi.

Ternyata, ini dipengaruhi gaya hidup mereka yang sangat aktif sejak kecil. Jadi, tidak heran jika warga di sana menempati urutan ke-7 dari 10 negara tersehat di dunia.

Apa sih rahasianya?

Rupanya, salah satu trik agar perut orang Jepang tidak buncit adalah dari cara penyajiannya. Tidak seperti di Indonesia yang memakai piring, mereka lebih sering makan menggunakan mangkuk kecil dengan beberapa hidangan yang berbeda.

Biasanya, mereka mengkonsumsi nasi dengan miso, ikan atau daging, lalu dua atau tiga hidangan sayuran, sering disajikan bersama dan dimakan secara bergiliran.

Tak hanya itu, orang Jepang juga memiliki cara sendiri untuk menjaga tubuhnya tetap bugar dan ‘in shape’ meski makan nasi tiga kali sehari. Berikut caranya:

1. Pola makan seimbang

Meski makan nasi tiga kali sehari, orang Jepang mengimbanginya dengan aktivitas fisik yang memadai untuk membakar kalori dan pola makan yang seimbang. Mereka lebih memilih ikan daripada daging merah, banyak sayuran, makanan asinan dan fermentasi, dan nasi dalam porsi kecil.

“Kalau orang Indonesia kebanyakan konsumsi kalori di atas 2 ribu dan kualitas makanannya nggak bagus, kurang sehat kurang serat, terlalu banyak karbohidrat juga,” kata spesialis penyakit dalam dr Indra Wijaya, MKes, SpPD-KEMD, FINASIM, FACP kepada detikcom, Rabu (24/5/2023).

2. Konsumsi makanan fermentasi

Orang Jepang juga rutin mengkonsumsi makanan fermentasi seperti natto dan miso. Natto biasanya dikonsumsi saat sarapan dan memiliki efek menguntungkan bagi usus dan pencernaan.

Karena kebiasaan ini, tingkat obesitas di Jepang menjadi salah satu yang terendah di dunia. Mereka juga memiliki harapan hidup yang panjang.

3. Aktivitas fisik

Pasti sudah tidak heran lagi kalau orang Jepang sangat gemar berjalan kaki. Kebiasaan inilah yang membuat mereka tetap bugar dan tidak buncit meski makan nasi tiga kali sehari.

Sebab, salah satu yang bisa memicu perut buncit hingga kenaikan berat badan adalah minimnya aktivitas fisik dan juga olahraga. Gaya hidup kurang aktif bergerak membuat seseorang lebih sulit membuang lemak berlebih terutama di sekitar perut.

Simak Video “Apakah Perut Buncit jadi Sarang Penyakit?
[Gambas:Video 20detik]
(sao/vyp)

Masih Perlukah Orang Dewasa Divaksin?

“Tidak hanya anak-anak, vaksin juga penting dilakukan pada orang dewasa. Bahkan, ada beberapa jenis vaksin yang masih wajib dilakukan meski sudah dewasa.”

Vaksin atau imunisasi menjadi salah satu cara guna mendorong terbentuknya antibodi pada tubuh terhadap penyakit tertentu. Sebab, ada kondisi khusus yang membuat orang dewasa perlu mendapatkan suntikan vaksin setiap beberapa waktu. Umumnya, vaksin berisi mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya penyakit, termasuk bakteri atau virus yang sebelumnya sudah dilemahkan atau dimatikan.

Namun, vaksin juga dapat berupa bagian dari mikroorganisme yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga  mampu merangsang imunitas tubuh untuk mengidentifikasi dan melawan virus yang menyebabkan munculnya penyakit.

Vaksin yang dibutuhkan sebagai orang dewasa tentu dipengaruhi oleh banyak hal. Ini termasuk faktor usia, gaya hidup, kondisi medis, rencana perjalanan, dan jenis vaksin yang pernah kamu lakukan sebelumnya. Ada banyak alasan mengapa orang dewasa masih perlu divaksin, di antaranya:

1.Adanya Kemungkinan Terinfeksi Penyakit Serius
Usia, gaya hidup, pekerjaan, rencana perjalanan, atau kondisi kesehatan dapat menempatkan kamu pada risiko penyakit baru dan berbeda. Misalnya, orang dewasa yang bekerja di tempat perawatan kesehatan atau sering berganti pasangan berisiko terkena hepatitis B. Lalu, orang dewasa dengan kondisi kesehatan kronis tertentu berisiko terkena penyakit pneumokokus. Tak ketinggalan, orang dewasa yang bepergian ke luar negeri sangat mungkin berisiko terkena penyakit yang bisa jadi sebelumnya belum pernah kamu alami.

2.Membantu Meningkatkan Kekebalan Tubuh
Kamu mungkin sudah pernah menerima vaksin saat masih anak-anak. Namun, ada beberapa jenis vaksin yang memerlukan tambahan atau booster untuk tetap mampu melindungi tubuh. Perlindungan yang diberikan sangat mungkin terbatas waktu untuk penyakit seperti pertusis (batuk rejan) atau tetanus yang biasanya diberikan dengan toksoid difteri. Sementara itu, CDC merekomendasikan setiap orang dewasa untuk melakukan vaksin tambahan atau booster setiap 10 tahun untuk setiap vaksin terakhir yang didapat saat usia kanak-kanak.

3.Melindungi Orang Lain yang Tidak Bisa Mendapat Vaksin
Tidak semua orang, baik anak maupun dewasa bisa mendapatkan vaksin. Lansia dengan kondisi medis tertentu tidak bisa mendapatkan vaksin karena bisa mengakibatkan masalah medis yang lebih serius. Begitu pula dengan bayi yang masih sangat rentan kekebalan tubuhnya akan penyakit tertentu. Artinya, dengan melakukan vaksin, kamu secara tidak langsung turut memberikan perlindungan akan penyakit serius pada orang-orang yang memang tidak bisa divaksin.

4.Membantu Memutus Rantai Penyebaran Penyakit
Melakukan vaksin sesuai dengan kebutuhan berarti kamu sudah membantu memutus rantai penyebaran penyakit. Misalnya, mendapatkan vaksin COVID-19 baik vaksin pertama, kedua, maupun vaksin ketiga sebagai tambahan. Vaksin membantu memberikan perlindungan pada tubuh sehingga angka positif corona dapat ditekan.
Tak hanya itu, ada pula beberapa jenis vaksin yang memang baru bisa didapat setelah usia dewasa. Misalnya, penyakit herpes zoster yang lebih berisiko terjadi pada orang-orang dewasa yang berusia 60 tahun atau lebih. Bisa jadi kamu belum mendapatkan vaksin lengkap saat anak-anak, belum lagi dengan perkembangan vaksin yang terus dilakukan.

Referensi:
WebMD. Diakses pada 2022. 12 Reasons Why Adults Need Vaccines.
British Columbia. Diakses pada 2022. Why do adults need vaccines?

Cegah Pneumonia Untuk Jalani Hidup Berkualitas Dengan Orang Tersayang

Pneumonia adalah kondisi inflamasi yang terjadi saat seseorang mengalami infeksi pada kantung-kantung udara dalam paru-paru.

Kantung udara yang terinfeksi tersebut akan terisi oleh cairan maupun pus (dahak purulen). Gangguan ini dapat menyebabkan batuk berdahak atau bernanah, demam, menggigil, hingga kesulitan bernapas

Infeksi yang ditimbulkan pneumonia bisa terjadi pada salah satu sisi paru-paru maupun keduanya. Penyebab utama dari gangguan inflamasi ini adalah infeksi virus, bakteri, ataupun jamur. Pneumonia lebih dikenal sebagai paru-paru basah di Indonesia. Penyakit ini bukan hanya dapat menimpa orang dewasa, melainkan juga terjadi pada anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.
Baik pneumonia virus dan bakteri adalah penyakit yang menular. Berarti, seseorang yang mengidapnya dapat menyebarkan ke orang lain melalui menghirup tetesan udara dari bersin atau batuk. Maka dari itu, pengidap gangguan ini perlu menghindari cairan keluar dari mulutnya dengan menggunakan masker.

Penyebab Pneumonia
Penyebab dari pneumonia beragam, tetapi berdasarkan organisme dan tempat penyebarannya, pneumonia dibedakan menjadi dua, yaitu pneumonia komunitas yang penyebarannya terjadi di komunitas (lingkungan umum) dan pneumonia yang ditularkan di rumah sakit.

Berikut beberapa kategori penyebab pneumonia:

1. Pneumonia yang didapat di lingkungan umum
Organisme yang bisa menjadi penyebab pneumonia ditularkan di lingkungan umum berbeda dengan di rumah sakit, umumnya organisme yang mengakibatkan pneumonia yang ditularkan pada rumah sakit lebih sulit untuk diobati.

Contoh organisme yang menyebabkan pneumonia yang ditularkan di tempat umum, antara lain:

•    Bakteri, yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae.
•    Organisme yang menyerupai bakteri, Mycoplasma pneumonia.
•    Jamur, biasanya jamur akan menyerang orang dengan gangguan sistem imun.
•    Virus.

2. Pneumonia yang didapat di rumah sakit
Beberapa orang dapat terkena gangguan pada paru-paru ini saat dirawat di rumah sakit karena penyakit lain. Penyakit ini bisa terjadi di rumah sakit dan menjadi serius karena bakteri yang menyebabkannya mungkin lebih kebal terhadap antibiotik.
Selain itu, hal ini juga bisa lebih berbahaya karena orang yang mengidapnya terkena suatu penyakit. Orang yang menggunakan mesin pernapasan (ventilator), sering digunakan di unit perawatan intensif, berisiko lebih tinggi terkena pneumonia jenis ini.

3. Pneumonia yang didapat dari perawatan kesehatan
Penyakit paru-paru yang didapat dari perawatan kesehatan ini rentan terjadi pada orang yang dirawat di fasilitas perawatan dalam jangka panjang atau rutin menerima perawatan di klinik rawat jalan, termasuk pusat dialisis ginjal. Layaknya penyebab infeksi yang didapat di rumah sakit, gangguan inflamasi pada paru-paru ini dapat disebabkan oleh bakteri yang lebih resisten terhadap antibiotik.
Faktor Risiko Pneumonia

Meskipun bisa terjadi pada siapa saja, tetapi beberapa orang lebih rentan untuk terkena pneumonia, seperti:

•    Anak-anak usia 2 tahun dan di bawah 2 tahun.
•    Orang dewasa di atas usia 65 tahun.
•    Dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama.
•    Dirawat di ruang ICU dan menggunakan ventilator (alat bantu napas).
•    Memiliki penyakit paru kronik atau penyakit jantung.
•    Merokok.
•    Orang yang memiliki imunitas tubuh rendah (seperti pengidap HIV) atau orang yang mengonsumsi obat yang mensupresi sistem imun, dan sedang berada di rangkaian pengobatan kemoterapi.

Gejala Pneumonia
Indikasi dan juga gejala ringan pneumonia umumnya menyerupai gejala flu, seperti demam dan batuk. Gejala tersebut memiliki durasi yang lebih lama bila dibandingkan flu biasa. Jika dibiarkan dan tidak diberikan penanganan, gejala yang berat dapat muncul, seperti:

•    Nyeri dada pada saat bernapas atau batuk.
•    Batuk berdahak.
•    Mudah lelah.
•    Demam dan menggigil.
•    Mual dan muntah.
•    Sesak napas.
•    Gangguan pada kesadaran (terutama pada pengidap yang berusia >65 tahun).
•    Pada pengidap yang berusia >65 tahun dan punya gangguan sistem imun, umumnya mengalami hipotermia.

Pada anak-anak dan bayi, biasanya gejala yang muncul berupa demam tinggi, anak tampak selalu kelelahan, tidak mau makan, batuk produktif, dan sesak napas, hingga napas anak menjadi cepat.
Diagnosis Pneumonia

Pertama-tama, dokter akan bertanya tentang gejala dan riwayat kesehatan yang pernah dialami, termasuk juga kebiasaan tidak sehat yang rutin dilakukan. Setelahnya, dokter akan mendengarkan suara dari paru-paru. Pengidap pneumonia umumnya mengalami adanya suara retak, menggelegak, atau bahkan gemuruh saat menarik napas.
Beberapa pemeriksaan yang umum dilakukan adalah:

•    Tes darah.
•    Rontgen dada.
•    Oksimetri nadi.
•    Tes dahak.

Selain itu, ada beberapa pemeriksaan lebih dalam jika seseorang memiliki masalah kesehatan lain atau dicurigai tertular saat di rumah sakit, yaitu:

•    Tes gas darah arteri.
•    Bronkoskopi.
•    CT Scan.
•    Kultur cairan pleura.

Memang, pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah melalui pencitraan, yaitu foto rontgen dada. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter melihat lokasi dari infeksi yang terjadi. Selain itu, pemeriksaan laboratorium darah dilakukan untuk mengetahui organisme apa yang menyebabkan terjadinya infeksi.

Pengobatan Pneumonia
Pengobatan dan penanganan untuk kasus pneumonia adalah dengan mengatasi infeksi yang terjadi dan memberikan terapi suportif. Dokter akan memberikan antibiotik yang harus dikonsumsi sampai habis jika infeksi disebabkan karena bakteri. Sedangkan terapi suportif yang diberikan dapat berupa:

•    Obat penurun demam jika pengidap menderita demam tinggi dan membuat aktivitas terganggu.
•    Obat batuk untuk mengurangi frekuensi batuk maupun mencairkan dahak yang tidak bisa keluar.

Dokter juga menganjurkan agar pengidap dirawat inap, jika terjadi beberapa kondisi ini:

•    Berusia >65 tahun.
•    Mengalami gangguan kesadaran.
•    Memiliki fungsi ginjal yang tidak baik.
•    Tekanan darah sangat rendah (<90/<60 mmHg).
•    Napas sangat cepat (pada devassa >30 x/menit).
•    Suhu tubuh di bawah normal.
•    Denyut nadi <50x/menit atau >100x/menit.
 
Komplikasi Pneumonia
Komplikasi pneumonia lebih sering terjadi pada anak kecil, orang tua dan mereka yang sudah memiliki kondisi kesehatan sebelumnya, seperti diabetes. Komplikasi pneumonia yang mungkin bisa terjadi yaitu:

•    Radang selaput dada, yaitu kondisi yang terjadi saat lapisan tipis antara paru-paru dan tulang rusuk (pleura) meradang. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan pernapasan.
•    Tulang rusuk (pleura) meradang, yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan.
•    Abses paru-paru, yaitu komplikasi langka yang kebanyakan ditemukan pada orang dengan penyakit serius yang sudah ada sebelumnya atau memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol yang parah.
•    Keracunan darah (sepsis), juga merupakan komplikasi yang jarang tapi berakibat serius.
 

Pencegahan Pneumonia
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya pneumonia, yaitu:

•    Mendapatkan vaksinasi: Hal ini adalah cara paling utama untuk mencegah terjadinya pneumonia. Pastikan kamu mendapatkannya agar kemungkinan untuk terserang penyakit ini semakin kecil. Vaksin perlu diberikan pada anak-anak, terutama yang di

bawah usia 2 tahun dan usia 2-5 tahun dengan jenis yang berbeda. Perlu juga untuk memberikan suntikan flu pada anak di atas usia 6 bulan.

•    Mempraktekkan kebersihan yang baik: Pastikan untuk melindungi diri dari gangguan ini dengan mencuci tangan secara teratur atau menggunakan hand sanitizer.
•    Berhenti merokok agar pelindung paru-paru tidak terganggu dan ampuh menghadapi infeksi pernapasan.
•    Jaga sistem kekebalan tubuh tetap kuat dengan tidur yang cukup, berolahraga teratur, serta mengonsumsi makanan sehat.
 
Referensi:
WebMD. Diakses pada 2022. Pneumonia.
NHS. Diakses pada 2022. Pneumonia.
Mayo Clinic. Diakses pada 2022. Pneumonia.
Healthline. Diakses pada 2022. Everything You Need to Know About Pneumonia.

Review : dr. Jeffery Malachi Candra, Sp. PD, FINASIM