Jakarta –
Belakangan, media sosial diramaikan video viral yang berlokasi di Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah. Dalam video tersebut, terlihat seorang bocah yang menangis karena dimarahi, dibentak, hingga dipukuli oleh ibu yang jengkel akibat tertinggal kereta.
Bocah tersebut kemudian menjerit di tengah kerumunan dan ditenangkan oleh seorang wanita paruh baya yang kebetulan ada di lokasi tersebut.
Video yang viral ini menarik simpati dari para netizen. Mereka menilai seharusnya anak itu tidak seharusnya diperlakukan sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menanggapi, psikolog anak dan remaja Anastasia Satriyo, menegaskan bahwa bagaimanapun, satu video di media sosial tidak bisa memberikan cukup data berkenaan dengan kondisi ibu dan anak dalam video tersebut. Sebab, masyarakat tidak bisa menilai apakah kemarahan ibu tersebut hanya sesekali atau sudah sering melalui sepotong video tersebut.
Masyarakat juga tidak bisa melihat apakah sang ibu masih bisa berfungsi dengan baik dalam kesehariannya atau tidak. Oleh karenanya, tidak bisa ada diagnosa lebih lanjut.
Terlepas dari kasus tersebut, kemarahan orang tua kepada anaknya bisa jadi berkaitan dengan kemampuan pengelolaan emosi. Pasalnya, hidup sebagai orang tua memang tidak lepas dari potensi stres.
“Orang tua kan di saat ini usia dewasa tapi dari kita kecil belum pernah ada yang ajarin cara mengelola emosi secara sehat sementara hidup jadi orang tua itu banyak stres dan overwhelmed,” terang Anastasia kepada detikcom, Kamis (29/6/2023).
“Jadi kemungkinan ibu tadi lagi sangat keluar dari Windows of Tolerance-nya yaitu kemampuan sistem saraf di otak memproses dan merespon informasi atau situasi dengan tenang. Dia masuk ke mode Hyperarousal kayak gunung meletus,” sambungnya.
Berpotensi Menimbulkan Trauma
Terpisah, psikolog klinis dan founder pusat Konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menjelaskan anak bisa merasa malu apabila dimarahi di hadapan banyak orang, seperti halnya orang dewasa. Bahkan pada anak-anak, emosi yang muncul bisa lebih intens lantaran kemampuan berpikirnya belum sematang orang dewasa.
“Orang dewasa dimarahi atau dibentak di depan umum itu ada perasaan seperti apa? Malu, marah, nggak terima, tersinggung mungkin. Anak-anak juga sama, namun anak-anak bisa jauh lebih kuat intensitas perasaan nggak nyamannya,” ujar Sari pada detikcom, Kamis (29/6).
“Karena orang dewasa sudah bisa punya kemampuan berpikir benteng pemikiran di saat ada situasi yang nggak nyaman terjadi. Orang dewasa juga sudah memiliki beragam pengalaman konflik sebelumnya sehingga peristiwa seperti itu mungkin sama-sama nggak nyaman, tapi dia bisa menanggapi atau merespons jauh lebih cepat dan tahu harus apa,” sambungnya.
Sari menjelaskan, anak yang merasa dipermalukan dan dibentak di depan umum mungkin merasa dunianya seolah-olah runtuh lantaran kemampuan berpikir anak masih terbatas. Tak menutup kemungkinan, bahwa perasaan itu bakal merembet ke tingkat kepercayaan diri anak hingga bertahun-tahun hidupnya.
Risiko lainnya, yaitu hubungan antara anak dan orang tua mungkin menjadi tidak baik. Pasalnya, momen dibentak dan dipermalukan tersebut disimpan dalam benak anak dalam jangka waktu lama. Kejadian tersebut menjadi momen traumatis yang berpengaruh kepada konsep diri anak seiring tumbuh kembangnya.
“Misalkan aku (anak) selalu salah, aku tidak pernah menyenangkan orang tua, aku tidak berharga, aku memalukan. Jadi timbul penghayatan yang bisa saja salah atau terlalu dalam, terlalu singkat untuk isi kepala anak-anak. Itu bisa berpengaruh terhadap konsep dirinya dan kepercayaan dirinya jangka panjang,” beber Sari.
“Pengaruhnya bisa menurunkan kepercayaan diri, harga diri, konsep diri seseorang khususnya anak itu dalam tumbuh kembang. Membuat kecemasan sosial saat dia tumbuh kembang. Mungkin bisa terjadi juga karena ketidaknyamanan dipandang orang dengan tatapan yang nggak enak sehingga kebawa sampai dia dewasa,” lanjutnya.